Blora, 5 Januari 2021
Guru adalah pekerjaan mulia namun memiliki tantangan yang besar dalam eksekusinya, menjadi guru harus mempersiapkan segala hal tidak hanya kecerdasan, tidak hanya kecantikan dan kegantengan secara fisik, tidak hanya transfer ilmu melainkan mampu memberikan pembelajaran yang bermakna serta menyenangkan kepada peserta didik, mendidik peserta didik tentunya harus dilandasi tentang akidah dan akhlak agar menjadi manusia yang memiliki budi pekerti sebagai perwujudan dari pendidikan. 12 september 2020 adalah gerbang awal saya mengabdi sebagai salah satu anggota keluarga guru penggerak dalam program kampus mengajar perintis. Mendidik tanpa rasa cinta ibarat memasak tidak dibumbui dengan garam dan gula menghasilkan sebuah rasa yang hambar/biasa saja.
Mengajar di SDN 1 Andongrejo adalah pengalaman hidup yang tidak akan pernah saya lupakan, bukan karena mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan melainkan sebaliknya, dari program inilah saya mendapatkan oleh-oleh pengalaman berharga arti dari sebuah kehidupan. Saya dihapakan dengan kondisi Pendidikan yang penuh dengan tantangan karena mengajar ditengah kondisi covid-19 sekolah tidak diperbolehkan untuk melakukan proses pembelajaran tatap muka (offline) untuk mengurangi tingkat penyebaran covid-19, sehingga sekolah membentuk kelompok belajar yang dilaksanakan di rumah warga atau masjid kampung desa andongrejo namun tetap memenuhi protokol Kesehatan, alasan pelaksanaan kegiatan pembelajaran offline tetap dilaksankan salah satunya karena tidak semua anak/orang tua memiliki fasilitas handphone yang canggih untuk pembelajaran daring serta kondisi material.
Waktu itu dikelas 2 saya menjumpai peserta didik yang belum bisa membaca, tidak percaya diri, pendiam, kritis dalam mengungkapkan segala hal dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Saya berusaha mendesain pembelajaran dengan mengkolaborasikan beberapa metode agar peserta didik tidak bosan, kegiatan belajar mengajar selalu diselingi kegiatan ice breaking, permainan. Pada kegiatan ice breaking semua peserta didik merasa antusias dan senang. Maka dari itu pembelajaran yang menyenangkan tidaklah harus fokus pada materi saja namun bisa diselingi dengan ice breaking untuk membangun semangat peserta didik dalam memulai/melanjutkan pembelajaran, tidak menutup kemungkinan ice breaking, permainan bisa dikaitkan dengan materi pembelajaran yang sedang dipelajari.
Ketika saya menghadapi kondisi kelas yang ramai saya berusaha untuk tetap tenang, disinilah point kesabaran dan rasa cinta perlu ditanamkan dalam diri sendiri bukan membetak peserta didik untuk diam. Pada saat itu peserta didik rama sendiri ada yang berceletuk “Bu..azizah liat kerjaan saya..Bu dimas ngomong terus..Bu saya ingin maju..Bu kelompok saya sudah selesai..Bu..Bu..” ujar peserta didik kelas 2 yang selalu ingin diperhatikan. Dalam hati saya tetawa karena kelas semakin ramai dengan celetukan tersebut. Kemudian saya menginstruksikan “tepuk satu” masih ada yang berbicara sendiri, kemudian dengan suara lebih keras saya berkata “tepuk ular” semua peserta didik diam dengan tangan kanan kedepan menirukan gesture ular.
Pada kondisi seperti ini buatlah diri sendiri menjadi menarik dihadapan peserta didik sehingga peserta didik yang mulanya ramai bisa berangsur kondusif, bisa juga membuat perjanjian yang saling menguntungkan antara peserta didik dengan guru. Mengajar kelas rendah dengan kelas atas secara penyampaian atau pengkondisian tentu berbeda. Melatih manusia agar menjadi manusia adalah sebuah tantangan yang besar tergantung niat dan keikhlasan. Bertemu dengan peserta didik yang memiliki karakteristik beranekaragam adalah kesenangan dan tantangan tersendiri, walaupun tidak bisa menjadi guru cantik, sedikit tidak jadilah guru baik yang menyenangkan dan tidak membosankan maka disitulah perlu ditanamkan rasa cinta ketika berhadapan dengan peserta didik.
Penulis: Desy Tri Permatasari, PGSD FKIP UMS: Program Mengajar Perintis Kemdikbud 2020